Sabtu, 08 Desember 2018

PENYUAPAN DALAM PENERIMAAN PNS

*KEPUTUSAN MUKTAMAR NU KE-31* ============================= █ *PENYUAPAN DALAM PENERIMAAN PNS* █ *PERTANYAAN:* ⓐ Bagaimanakah hukumnya memberi sesuatu agar diterima sebagai PNS? Dan bagaimana pula hukum menerima sesuatu tersebut bagi si penerima? ⓑ Bagaimanakah hukumnya gaji PNS yang proses pengangkatannya melalui risywah (suap)? *JAWABAN:* ⓐ Pemberian sesuatu agar diterima sebagai PNS dan semacamnya adalah risywah (suap) yang hukumnya haram. Terkecuali jika dalam pemberian sesuatu tersebut ada tujuan untuk menegakkan kebenaran atau menolak kebatilan, maka hukumnya tidak haram. Namun, bagi si penerima hukumnya tetap haram. ⓑ Masalah gaji PNS yang proses penerimaannya melalui suap, maka ada dua pendapat menurut Muktamirin (para anggota muktamar NU), yaitu: ☛ Pendapat pertama, hukumnya haram, karena: ➊ Ada keterkaitan sebab dan akibat antara suap dan gaji. ➋ Gaji yang diterima bukan termasuk ujroh (upah), tetapi merupakan tunjangan, insentif atau kebijakan, sehingga gaji yang diterima tidak terkait dengan pekerjaan yang dikerjakan, tetapi terkait dengan pengangkatan yang prosesnya melalui suap. ➌ Pengangkatannya dianggap tidak sah atau batil, sehingga gajinya juga tidak sah / batil. ☛ Pendapat kedua, hukumnya halal, karena: ➊ Tidak ada keterkaitan antara suap dan gaji, sebagaimana tidak adanya keterkaitan antara haramnya mencuri sajadah dan sahnya sholat di atas sajadah curian tersebut. ➋ Pengangkatan untuk menjadi PNS itu dianggap sah. *DASAR PENGAMBILAN HUKUM:* Firman Alloh Swt: وَلَا تَأْكُلُوْآ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ. (البقرة: ١٨٨) *Artinya:* _"Dan janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim, agar kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui."_ *(QS. Al-Baqoroh: 188)* Sabda Nabi Saw: قَالَ النَّبِيُّ ﷺ مَنِ اسْتَعْمَلْنَا عَلٰى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذٰلِكَ فَهُوَ غُلُوْلٌ (رواه ابو داود عن بريدة/٢٥٤) *Artinya:* Nabi ﷺ bersabda: _"Barangsiapa yang kami perkerjakan untuk suatu pekerjaan dan telah kami tentukan gaji untuknya, maka apapun yang ia ambil selebihnya adalah pengkhianatan."_ *(HR. Abu Daud dari Buraidah, hadits ke 2554)* Dan sabda Nabi Saw: عَنْ عَبْدِ اللّٰهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُوْلُ اللّٰهِ ﷺ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ (رواه الترمذي: ١٢٥٧، أبو داود: ٣١٠٩، وابن ماجة: ٢٣٠٤، وأحمد: ٦٢٤٦) *Artinya:* Dari Abdulloh bin 'Amr ra. ia berkata: _"Rosululloh ﷺ melaknat orang yang menyuap dan orang yang disuap."_ *(HR. Tirmidzi: hadits ke 1207, Abu Dawud: hadits ke 3109, Ibnu Majah: hadits ke 2304, dan Ahmad: hadits ke 6246)* 📚 *RUJUKAN KITAB:* 📗 Kitab *Roudlotuth Tholibin (رَوْضَةُ الطَّالِبِيْنَ)* juz 11 halaman 144: (فَرْعٌ) قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الرِّشْوَةَ حَرَامٌ مُطْلَقًا، وَالْهَدِيَّةُ جَائِزَةٌ فِيْ بَعْضِ الْأَحْوَالِ، فَيُطْلَبُ الْفَرْقُ بَيْنَ حَقِيقَتَيْهِمَا مَعَ أَنَّ الْبَاذِلَ رَاضٍ فِيْهِمَا، وَالْفَرْقُ مِنْ وَجْهَيْنِ، أَحَدُهُمَا ذَكَرَهُ ابْنُ كَجٍّ: أَنَّ الرِّشْوَةَ هِيَ الَّتِيْ يُشْرَطُ عَلٰى قَابِلِهَا الْحُكْمُ بِغَيْرِ الْحَقِّ، أَوِ الْاِمْتِنَاعُ عَنِ الْحُكْمِ بِحَقٍّ، وَالْهَدِيَّةُ: هِيَ الْعَطِيَّةُ الْمُطْلَقَةُ. وَالثَّانِيْ قَالَ الْغَزَالِيُّ فِي الْإِحْيَاءِ: الْمَالُ إِمَّا يُبْذَلُ لِغَرَضٍ آجِلٍ فَهُوَ قُرْبَةٌ وَصَدَقَةٌ، وَإِمَّا لِعَاجِلٍ، وَهُوَ إِمَّا مَالٌ، فَهُوَ هِبَةٌ بِشَرْطِ ثَوَابٍ، أَوْ لِتَوَقُّعِ ثَوَابٍ، وَإِمَّا عَمَلٌ، فَإِنْ كَانَ عَمَلًا مُحَرَّمًا، أَوْ وَاجِبًا مُتَعَيَّنًا، فَهُوَ رِشْوَةٌ، وَإِنْ كَانَ مُبَاحًا فَإِجَارَةٌ أَوْ جُعَالَةٌ، وَإِمَّا لِلتَّقَرُّبِ وَالتَّوَدُّدِ إِلَى الْمَبْذُوْلِ لَهُ، فَإِنْ كَانَ بِمُجَرَّدِ نَفْسِهِ، فَهَدِيَّةٌ، وَإِنْ كَانَ لِيَتَوَسَّلَ بِجَاهِهِ إِلَى أَغْرَاضٍ وَمَقَاصِدَ، فَإِنْ كَانَ جَاهُهُ بِالْعِلْمِ أَوِ النَّسَبِ، فَهُوَ هَدِيَّةٌ، وَإِنْ كَانَ بِالْقَضَاءِ وَالْعَمَلِ، فَهُوَ رِشْوَةٌ. *Artinya:* (Cabang) Telah kami tuturkan bahwa tindakan suap menyuap hukumnya haram secara mutlak. Sedangkan hadiah pada beberapa kondisi itu hukumnya adalah boleh. Maka dituntut untuk membedakan kebenaran di antara kedua hal tersebut (suap dan hadiah) bersamaan dengan kerelaan si pemberi pada kedua hal tersebut. Dan perbedannya bisa dilihat dari dua sisi. Pertama: disebutkan oleh Ibnu Kajj bahwa sesungguhnya suap ialah bila si penerimanya disyaratkan memutuskan huhum yang tidak benar atau mencegah keputusan hukum yang benar. Sedangkan hadiah adalah pemberian yang bersifat mutlak. Kedua: dalam kitab Ihya’ul 'Ulumud Din, Imam Ghozali berkata: _"Harta itu adakalanya diberikan untuk tujuan akhirat, yaitu pemberian yang dimaksudkan untuk taqorrub dan sedekah, dan adakalanya untuk tujuan duniawi yang adakalanya berupa harta, yaitu pemberian dengan syarat imbalan atau mengharap imbalan, dan adakalanya berupa perbuatan. Jika perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang haram atau perbuatan yang sifatnya fardlu 'ain, maka pemberian itu adalah suap. Jika perbuatan tersebut bersifat mubah, maka pemberian itu adalah ijaroh (upah pekerjaan) atau ju'alah (sayembara). Dan adakalanya pemberian itu dimaksudkan untuk tujuan melakukan pendekatan dan mencari simpati kepada pihak yang diberi. Dalam hal ini jika yang dimaksud sekedar pribadi orangnya, maka itu adalah hadiah. Namun jika yang dimaksud adalah agar menjadi sarana melalui kedudukan si penerima untuk tujuan dan maksud tertentu, maka [hukumnya diperinci,] jika kedudukannya berupa keilmuan atau keturunan, maka itu adalah hadiah. Dan jika kedudukannya adalah sebagai pemberi keputusan hukum atau pekerjaan, maka itu adalah suap.”_ 📗 Kitab *Nihayatuz Zain (نِهَايَةُ الزَّيْنِ)* halaman 370: وَقَبُوْلُ الرِّشْوَةِ حَرَامٌ وَهِيَ مَا يُبْذَلُ لِلْقَاضِيْ لِيَحْكُمَ بِغَيْرِ الْحَقِّ أَوْ لِيَمْتَنِعَ مِنَ الْحُكْمِ بِالْحَقِّ وَإِعْطَاؤُهَا كَذٰلِكَ لِأَنَّهُ إِعَانَةٌ عَلٰى مَعْصِيَّةٍ أَمَّا لَوْ رَشٰى لِيَحْكُمَ بِالْحَقِّ جَازَ الدَّفْعُ وَإِنْ كَانَ يَحْرُمُ عَلَى الْقَاضِيْ اَلْأَخْذُ عَلَى الْحُكْمِ مُطْلقًا أَيْ سَوَاءٌ أُعْطِيَ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ أَمْ لَا وَيَجُوْزُ لِلْقَاضِيْ أَخْذُ الْأُجْرَةِ عَلَى الْحُكْمِ لِأَنَّهُ شَغَلَهُ عَنِ الْقِيَامِ بِحَقِّهِ. *Artinya:* Menerima suap hukumnya haram. Suap adalah sesuatu yang diberikan kepada hakim agar ia memberikan putusan hukum yang menyalahi kebenaran atau agar ia mencegah terjadinya putusan hukum yang benar. Dan demikian pula [haram hukumnya] memberikan suap, karena hal itu sama saja membantu perbuatan maksiat. Adapun jika seseorang memberikan suap dengan tujuan agar hakim memberikan putusan hukum degan benar, maka hukum memberikannya adalah boleh, meskipun hakim diharamkan secara mutlak mengambil pemberian atas putusan hukumnya tersebut. Baik yang diberikan kepadanya itu diambil dari baitul maal (kas negara) ataupun bukan. Hakim boleh mengambil gaji atas keputusan hukumnya, karena hal tersebut membuatnya sibuk dari bekerja untuk memenuhi kebutuhannya. 📗 Kitab *Is’adur Rofiq (إِسْعَادُ الرَّفِيْقِ)* juz 2 halaman 100: فَمَنْ أَعْطٰى قَاضِيًا أَوْ حَاكِمًا رِشْوَةً أَوْ أَهْدٰى إِلَيْهِ هَدِيَّةً فَإِنْ كَانَ لِيَحْكُمَ لَهُ بِبَاطِلٍ أَوْ لِيَتَوَصَّلَ بِهَا لِنَيْلِ مَا لَا يَسْتَحِقُّهُ أَوْ لِأَذِيَّةِ مُسْلِمٍ فَسَقَ الرَّاشِيْ وَالْمُهْدِيْ بِالْإِعِطَاءِ وَالْمُرْتَشِيْ وَالْمُهْدٰى إِلَيْهِ بِالْأَخْذِ وَالرَّائِشُ بِالسَّعْيِ وَإِنْ لَمْ يَقَعْ حُكْمٌ مِنْهُ بَعْدَ ذٰلِكَ أَوْ لِيَحْكُمَ لَهُ بِحَقٍّ أَوْ لِدَفْعِ ظُلْمٍ أَوْ لِيَنَالَ مَا يَسْتَحِقُّهُ فَسَقَ الْآخِذُ فَقَطْ وَلَمْ يَأْثَمِ الْمُعْطِيْ لِاضْطِرَارِهِ لِلتَّوَصُّلِ لِحَقٍّ بِأَيِّ طَرِيْقٍ كَانَ. *Artiya:* Barang siapa yang memberikan suap kepada hakim, atau memberikan hadiah kepadanya, maka jika dimaksudkan agar hakim memberi putusan hukum yang menguntungkannya dengan cara yang tidak benar, atau ia jadikan sarana untuk mendapatkan sesuatu yang bukan menjadi haknya, atau ia maksudkan untuk menyakiti sesama muslim, maka si penyuap dan si pemberi hadiah menjadi fasiq (berdosa) sebab pemberiannya itu. Dan [begitu pula menjadi fasiq bagi] si penerima suap atau hadiah sebab mengambil suap atau hadiah tersebut, dan [begitu pula menjadi fasiq bagi] orang yang menjadi perantaranya sebab usahanya, walaupun setelah pemberian suap tersebut tidak terjadi putusan hukum. Atau [ia memberikan suap] dengan maksud agar hakim memberi putusan hukum yang menguntungkannya secara benar, atau dimaksudkan untuk mencegah kedholiman, atau dimaksudkan untuk memperoleh sesuatu yang menjadi haknya, maka yang menjadi fasiq hanya yang mengambil [suapnya] saja, sedangkan yang memberi tidak berdosa, karena ia terpaksa [memberi] agar bisa mendapat haknya dengan jalan apapun. 📗 Kitab *al-Asybah wan Nadhoir (اَلْأَشْبَاهُ وَالنَّظَائِرُ)* halaman 105: (خَاتِمَةٌ) يُنْقَضُ قَضَاءُ الْقَاضِيْ إذَا خَالَفَ نَصًّا أَوْ إجْمَاعًا أَوْ قِيَاسًا جَلِيًّا. قَالَ الْقَرَافِيُّ: أَوْ خَالَفَ الْقَوَاعِدَ الْكُلِّيَّةَ. قَالَ الْحَنَفِيَّةُ: أَوْ كَانَ حُكْمًا لَا دَلِيلَ عَلَيْهِ. *Artinya:* *(Penutup)* Putusan hukum seorang hakim bisa dibatalkan, jika bertentangan dengan nash (al-Qur'an dan hadits), ijma' atau qiyas yang jelas. Al-Qorofi berkata: _"Atau jika menyalahi kaidah-kaidah universal."_ Dan ulama madzhab Hanafi berkata: _"Atau berupa hukum yang tidak berdasarkan dalil sama sekali.”_ 📗 Kitab *Nihayatul Muhtaj (نِهَايَةُ الْمُحْتَاجِ)* juz 5 halaman 291: وَمَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ مِنْ جَعْلِ جَامَكِيَّةٍ عَلٰى ذٰلِكَ فَلَيْسَ مِنْ بَابِ الْإِجَارَةِ وَإِنَّمَا هُوَ مِنْ بَابِ الْإِرْزَاقِ وَالْإِحْسَانِ وَالْمُسَامَحَةِ بِخِلَافِ الْإِجَارَةِ فَإِنَّهَا مِنْ بَابِ الْمُعَاوَضَةِ. *Artinya:* Tradisi yang berlaku pada pemberian pemerintah kepada orang yang menjadi imam sholat jamaah itu bukan termasuk sebagai ijaroh (upah pekerjaan), tetapi merupakan irzaq (tunjangan), ihsan (insentif) atau musamahah (kebijakan). Berbeda dengan ijaroh yang merupakan mu‘awadhoh (transaksi pertukaran). 📗 Kitab *al-Mubdi’ fi Syarhil Muqni’ (اَلْمُبْدِعُ فِيْ شَرْحِ الْمُقْنِعِ)* juz 8 halaman 144: فَلَا يَجُوزُ تَوْلِيَتُهُ مَعَ عَدَمِ الْعِلْمِ بِذٰلِكَ كَمَا لَا يَجُوزُ تَوْلِيَتُهُ مَعَ الْعِلْمِ بِعَدَمِ صَلَاحِيَّتِهِ. (وَيُعَيِّنُ مَا يُوَلِّيْهِ الْحُكْمَ فِيْهِ مِنَ الْأَعْمَالِ كَالْكُوفَةِ وَنَوَاحِيْهَا وَالْبُلْدَانِ كَبَغْدَادَ وَنَحْوِهَا لِيَعْلَمَ مَحَلَّ وِلَايَتِهِ فَيَحْكُمَ فِيْهِ وَلَا يَحْكُمَ فِيْ غَيْرِهِ. *Artinya:* Maka tidak boleh mengangkat seseorang untuk menjabat sebagai Qodhi yang dibarengi dengan ketidaktahuan atas keahliannya memutuskan hukum, seperti halnya tidak boleh mengangkatnya menjadi Qodhi besertaan mengetahui ketidaklayakannya. Dan penguasa menentukan daerah hukumnya, semisal Kufah dan sekitarnya, atau wilayah semisal Baghdad dan sekitarnya, agar ia mengetahui wilayah kerjanya sehingga ia memutuskan hukum di wilayah tersebut dan tidak memutuskan hukum di luar wilayahnya. 📗 Kitab *Syarah Shohih Muslim lin Nawawi* juz 2 halaman 58-59: إِنَّ الصَّلَاةَ فِي الدَّارِ الْمَغْصُوْبَةِ صَحِيْحَةٌ يَسْقُطُ بِهَا الْفَرْضُ وَلَا ثَوَابَ فِيْهَا قَالَ أَبُوْ مَنْصُوْرٍ وَرَأَيْتُ أَصْحَابَنَا بِخُرَاسَانَ اخْتَلَفُوْا فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ لَا تَصِحُّ الصَّلَاةُ قَالَ وَذَكَرَ شَيْخُنَا فِي الْكَامِلِ أَنَّهُ يَنْبَغِيْ أَنْ تَصِحَّ وَيَحْصُلُ الثَّوَابُ عَلَى الْفِعْلِ فَيَكُوْنُ مُثَابًا عَلَى فِعْلِهِ عَاصِيًا بِالْمُقَامِ فِي الْمَغْصُوْبِ فَإِذَا لَمْ نَمْنَعْ مِنْ صِحَّتِهَا لَمْ نَمْنَعْ مِنْ حُصُوْلِ الثَّوَابِ قَالَ أَبُوْ مَنْصُوْرٍ وَهٰذَا هُوَ الْقِيَاسُ عَلٰى طَرِيْقِ مَنْ صَحَّحَهَا وَاللّٰهُ أَعْلَمُ. *Artinya:* Sesungguhnya sholat di rumah ghosoban itu sah dan bisa menggugurkan kewajiban, namun tidak berpahala. Abu Manshur berkata: _"Saya melihat ulama kita (madzhab Syafi'i) di Khurosan berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat sholatnya tidak sah."_ Ia berkata: _"Dalam kitab al-Kamil guru kami (Abu Nashr bin Shobah) menyebutkan, seyogyanya sholat tersebut sah dan ia berpahala atas sholat itu. Maka pelakunya mendapat pahala atas sholatnya namun bermaksiat karena bertempat di rumah ghoshoban. Lalu jika kita tidak menghalangi keabsahan sholatnya, maka kita juga tidak menghalangi pahalanya."_ Abu Manshur berkata: _"Ini merupakan qiyas menurut riwayat ulama yang mengabsahkannya."_ Wallohmu a’lam. 📗 Kitab *Mughnil Muhtaj (مُغْنِي الْمُحْتَاجِ)* juz 1 halaman 566: فَإِنْ بَاعَ مَنْ حَرُمَ عَلَيْهِ الْبَيْعُ صَحَّ بَيْعُهُ وَكَذَا سَائِرُ عُقُوْدِهِ لِأَنَّ النَّهْيَ لِمَعْنًى خَارِجٍ عَنِ الْعَقْدِ فَلَمْ يَمْنَعِ الصِّحَّةَ كَالصَّلَاةِ فِي الدَّارِ الْمَغْصُوْبَةِ. *Artinya:* Jika orang yang tidak diperbolehkan melakukan transaksi jual beli melakukan transaksi jual beli, maka transaksi jual belinya tetap sah. Begitu pula seluruh transaksi yang dilakukannya, sebab larangan bertransaksi di atas adalah karena alasan eksternal di luar transaksi, sehingga tidak menghalangi keabsahannya, seperti (hukum) sholat di dalam rumah hasil ghoshoban. 📗 Kitab *I’anatuth Tholibin (إِعَانَةُ الطَّالِبِيْنَ)* juz 2 halaman 110: وَعِبَارَةُ الْمُغْنِيْ مَعَ الْأَصْلِ: فَإِنْ بَاعَ مَنْ حَرُمَ عَلَيْهِ الْبَيْعُ صَحَّ بَيْعُهُ وَكَذَا سَائِرُ عُقُوْدِهِ لِأَنَّ النَّهْيَ لِمَعْنًى خَارِجٍ عَنِ الْعَقْدِ أَيْ وَهُوَ التَّشَاغُلُ عَنْ صَلَاتٍهَا فَلَمْ يَمْنَعِ الصِّحَّةَ كَالصَّلَاةِ فِي الدَّارِ الْمَغْصُوْبَةِ. *Artinya:* Adapun redaksi kitab Mughnil Muhtaj serta kitab asalnya (Minhajuth Tholibin) yaitu: _"Jika orang yang tidak diperbolehkan melakukan transaksi jual beli melakukan transaksi jual beli, maka transaksi jual belinya tetap sah. Begitu pula seluruh transaksi yang dilakukannya, sebab larangan bertransaksi di atas adalah karena alasan eksternal di luar transaksi, yaitu menyibukkan diri dari sholat Jum'at, sehingga tidak menghalangi keabsahannya, seperti (hukum) sholat di dalam rumah hasil ghoshoban."_

Jumat, 07 Desember 2018

█ *SEJARAH AWAL PENYUSUNAN LMU NAHWU* █

Orang yang pertama kali menyusun Ilmu Nahwu adalah *Abul Aswad ad-Du’aliy* dari suku *Kinanah* atas perintah *Imam Ali bin Abu Tholib* Karromallohu Wajhah.

Latar belakang Abul Aswad ad-Du’aly menyusun Ilmu Nahwu ini adalah bermula saat ia dan putrinya berada di teras rumahnya. Kemudian putrinya melihat ke langit sehingga dapat melihat bintang-bintang dan gemerlapan cahayanya sewaktu keadaan gelap. Putrinya berkata padanya:

يَا أَبَتِ مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ
(dg dlommah & kasroh)
*Artinya:*
_"Duhai ayahku, apakah yang paling indah di langit?"_

Kemudian sang ayah berkata:

نُجُوْمُهَا، يَا بُنَيَّةُ
*Artinya:*
_“Bintang-gemintangnya, wahai putriku.”_

Namun sang anak menyanggah dengan mengatakan:

يَا أَبَتِ مَا أَرَدْتُ هٰذَا، إِنَّمَا أَرَدْتُ التَّعَجُّبَ مِنْ حُسْنِهَا
*Artinya:*
_"Duhai ayahku, bukan begitu maksudku, tetapi yang kumaksud adalah saya ingin mengungkapkan kekagumanku terhadap keindahan langit.”_

Sang ayah berkata: "Kalau begitu katakanlah:

مَا أَحْسَنَ السَّمَاءَ (dg fathah)
*Artinya:*
_“Alangkah indahnya langit itu.”_

Kemudian pada pagi harinya, Abul Aswad pergi menghadap Sayyidina Ali Karromallohu Wajhah dan melaporkan kepada Beliau: "Wahai Amirul Mu'minin, telah terjadi percakapan antara aku dengan putriku sesuatu yang tidak ku mengerti.” Lalu Abul Aswad menceritakan peristiwa yang telah ia alami bersama putrinya seperti yang telah dituturkan diatas. Imam Ali berkata: "Ini adalah akibat bercampurnya bahasa Ajam (non Arab) dan bahasa Arab.” Lalu Beliau memerintahkannya untuk membuat aturan tata bahasa arab.

Kemudian Abul Aswad membeli sehelai kertas, dan setelah beberapa hari Imam Ali mendektekannya untuk menulis beberapa pembagian kalimah (kata) yang berjumlah tiga bagian, yaitu: kalimah isim (kata benda), kalimah fi'il (kata kerja) dan kalimah huruf (kata tugas) yang mengadung arti dan pengertian serta ditambah dengan bab ta'ajub (ungkapan kekaguman). Tulisan itu kemudian disodorkan kepada Imam Ali. Lalu Imam Ali berkata:

*اِنْحَ نَحْوَ هٰذَا*
*Artinya:*
_“Buatkan contoh seperti ini.”_

Karena itulah kemudian ilmu ini dinamakan *"Imu Nahwu"*.

Imam Ali berkata: “Teruskanlah wahai Abul Aswad, maka tambah dan tambahkan padanya apa yang telah kau tulis disitu. Ketahuilah wahai Abul Aswad, bahwa sesungguhnya kalimah isim (kata benda) itu ada tiga, yaitu: zhahir (konkrit), mudlmar (abstrak), dan sesuatu yang tidak zhahir dan tidak mudlmar yang manusia saling berlebihan dalam mengetahui sesuatu yang tidak zhahir dan tidak múdlmar tersebut". Abul Aswad berkata: "Lalu aku mengumpulkan beberapa kalimah isim tersebut dan melaporkannya pada Imam Ali. Diantara kalimah itu adalah huruf nashob, yaitu: إِنَّ (sesungguhnya), أَنَّ (sesungguhnya), لَيْتَ (seandainya), لَعَلَّ (andai saja), كَأَنَّ (seakan-akan), dan tidak saya ikutkan dengan kata لٰكِنَّ  (akan tetapi).” Lalu Imam Ali berkata kepadaku: "Kenapa tidak engkau ikutkan ?" Saya jawab: _“Tidak saya hitung sebagai bagian darinya."_ Beliau berkata: _"Padahal ia bagian darinya maka tambahkanlah !"_

Kemudian Abul Aswad mendengar seorang laki-laki membaca ayat suci Al-Qur'an surat At-Taubah ayat 3 dengan memberikan harakat kasroh pada akhir ayatnya:

إِنَّ اللٰهَ بَرِيْءٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلِهِ
*Artinya:*
_“Sesungguhnya Alloh berlepas diri dari orang-orang musyrik dan Rosul-Nya.”_

Hal ini menyebabkan arti dari ayat tersebut menjadi rusak dan menyesatkan. Padahal bacaan yang benar menurut kaidah Ilmu Nahwu dan kesepakatan qiro'ah sab'ah adalah dengan membaca dlommah pada dua huruf terakhir pada akhir ayat tersebut, sehingga berbunyi:

إِنَّ اللٰهَ بَرِيْءٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلُهُ
*Artinya:*
_“Sesungguhnya Alloh dan Rosul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik.”_

Setelah kejadian itu, maka Abul Aswad menyusun bab 'athof dan bab na'at.

📚 *REFERENSI:*
Kitab *Mukhtashor jiddan* syarah Matan Jurumiyah karya *Sayyid Ahmad Zaini Dahlan*

Sabtu, 01 Desember 2018

Memilih orang alim sebagai teman

█ *KRITERIA MEMILIH ORANG ALIM SEBAGAI TEMAN DUDUK* █ 

Dalam kitab *Ihya' Ulumuddin (إِحْيَاءُ عُلُوْمِ الدِّيْنِ)* ---karya *Imam Ghozali*--- pada juz 1 halaman 87-88 terdapat keterangan sebagai berikut:

قَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَجْلِسُوْا عِنْدَ كُلِّ عَاِلِمٍ إِلَّا إِلٰى عَالِمٍ يَدْعُوْكُمْ مِنْ خَمْسٍ إِلٰى خَمْسٍ مِنَ الشَّكِّ إِلَى الْيَقِيْنِ وَمِنَ الرِّيَاءِ إِلَى الْإِخْلَاصِ وَمِنَ الرَّغْبَةِ إِلَى الزُّهْدِ وَمِنَ الْكِبْرِ إِلَى التَّوَاضُعِ وَمِنَ الْعَدَاوَةِ إِلَى النَّصِيْحَةِ.
*Artinya:*
Rosululloh Saw bersabda: _"Janganlah kalian duduk bersama setiap orang alim kecuali kepada orang alim yang mengajak kalian dari meninggalkan 5 hal untuk melakukan 5 hal yang lain:_
➊. _Meninggalkan keragu-raguan dalam agama dan ragu kepada Alloh menuju keyakinan pada keduanya._
➋. _Meninggalkan riya’ (mencari pujian mahluk) menuju keikhlasan (murni karena Alloh)._
➌. _Meninggalkan kecintaan terhadap dunia menuju zuhud (tidak berhasrat kepada dunia)._
➍. _Meninggalkan kesombongan menuju ketawadhu'an._
➎. _Meninggalkan permusuhan menuju nasehat (mengharapkan kebaikan kepada semua orang, yakni kekompakan dan persatuan serta tidak mengandung ujaran kebencian)."_

Pepohonan di surga

█ PEPOHONAN DI SURGA █

Pepohonan di surga akarnya berada di atas dan daun-daunnya berada di bawah, pohon tersebut tidak pernah kering, layu dan rontok. Pepohonan di surga akarnya terbuat dari intan, batangnya dari yaqut, daunnya dari sundus (sutra yang sangat halus), jika tertiup angin melambai-melambai menyenangkan setiap mata yang memandang. Ada juga batangnya yang terbuat dari perak, dahan-dahannya dari emas dan sebaliknya, serta ada yang daunnya berselang-seling, ada yang dari emas dan ada yang dari perak. Jika tertiup angin keduanya bertatapan sehingga menimbulkan suara gemerincing yang sangat cantik dan membuat kita terlena, melebihi suara apapun yang nadanya diatur sedemikian rupa. Surga adalah tempat yang kekal abadi tempat berkumpulnya segala macam kenikmatan dan kesenangan, terang benderang tanpa matahari dan bulan.

Ka'ab ra. berkata: Aku bertanya kepada Rosululloh SAW tentang pepohonan di surga. Maka beliau menjawab: Tidak pernah kering dahan-dahannya dan daun-daunnya tidak pernah berguguran dan tidak rusak buahnya. Sesungguhnya pohon yang paling besar di surge adalah pohon Thuba, yang akarnya terbuat dari intan, batangnya dari yaqut, dahannya dari zabarjud dan daun-daunnya dari sutra yang halus. Pohon ini memiliki 70.000 cabang, setiap cabang itu menyentuh Arasy dan lebih rendah-rendahnya cabang itu berada di langit dunia.

Di dalam surga tidak ada sebuah kamar, tidak ada sebuah kubah dan tidak ada bilik kecuali di dalamnya terdapat cabang pohon itu, yang bisa mengayomi di atas surga. Pada pohon itu mengeluarkan buah-buahan menurut apa yang dikehendaki oleh hati. Perbandingan dari pohon itu di dunia adalah matahari, asalnya matahari berada di langit tetapi sinarnya sampai ke segala tempat.

Pohon-pohonan di dunia akarnya di bumi dan cabang-cabangnya berada di udara, karena sesungguhnya dunia ini adalah tempat yang fana (rusak). Akan tetapi pohon-pohonan yang terdapat di surga tidaklah demikian, akarnya di udara dan cabang-cabangnya di bumi.

Sebagaimana firman Alloh SWT:

قُطُوْفُهَا دَانِيَةٌ. كُلُوْا وَاشْرَبُوْا هَنِيْٓئًا بِمَا اَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَةِ (الحاقة: ٢٣-٢٤)
Artinya:
"Buah-buahannya dekat. Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang tela lalu." (QS. Al-Haqqoh: 23-24)

Debu dan tanah di surga terbuat dari minyak misik, anbar dan kafur, dan sungai-sungainya terdiri dari susu, madu, arak dan air yang sangatjernih. Apabila angin bertiup menerpa dedaunan, maka bersentuhan antara daun satu dengan daun yang lainnya hingga menimbulkan suara yang sangat indah (merdu) dan tidak ada yang menyamainya.

Dalam sebuah hadits dari Ali ra. Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya di dalam surga terdapat suatu pohon, yang di bagian atasnya keluar perhiasan dan pada bagian bawahnya keluar kuda yang memiliki sayap yang diberi pelana yang ditaburi dengan intan dan yaqut. Kuda tersebut tidak pernah mengeluarkan kotoran dan tidak pernah buang air kecil. Adapun yang menaiki kuda itu adalah para wali Alloh SWT dan kuda ini akan membawa terbang para wali Alloh ke surga. Lalu berkatalah orang-orang yang berada di bawah mereka: "Wahai Tuhanku, apa yang menyebabkan mereka mendapatkan kemulyaan semacam itu ?" Maka Alloh SWT. menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang mengerjakan sholat ketika kalian semua masih tidur (sholat malam), mereka berpuasa ketika kalian tidak puasa, mereka berjihad membela agama Alloh sedangkan kalian semua duduk di sisi istri kalian, mereka bersedekah dengan harta mereka di jalan Alloh, sedangkan kalian semua bakhil (kikir).”

Diriwayatkan dari Nabi SAW. beliau bersabda: "Apakah aku tidak pernah menceritakan kepadamu tentang waktu (sa'at), yaitu waktu yang serupa dengan waktu yang ada di surga. Dia adalah waktu dimana sebelum matahari terbit, bayang-bayangnya itu memanjang, rahmatnya saat itu merata dan barakahnya saat itu banyak."

📚 REFERENSI:
➀ Kitab Fafirru Ilalloh karya Syeh Mundzir Nadzir
➁ Kitab Daqoiqul Akhbar karya Imam Abdurrohim bin Ahmad al-Qodhi

Binatang yang masuk surga

█ *BINATANG YANG MASUK SURGA* █

Imam Muqotil berkata: Dari bangsa hewan juga ada yang masuk surga, jumlahnya ada 10 (sepuluh), yaitu:
➊ Untanya Nabi Saleh.
➋ Anak sapinya Nabi Ibrahim.
➌ Kambing gibasnya Nabi Ismail.
➍ Sapinya Nabi Musa.
➎ Ikan yang memakan Nabi Yunus.
➏ Khimarnya Nabi Uzair.
➐ Semutnya Nabi Sulaiman.
➑ Burung Hud-hud Nabi Sulaiman.
➒ Untanya Nabi Muhammad Saw.
➓ Anjingnya Ashabul Kahfi, anjing tersebut berwarna kuning, di surga bentuknya berubah menjadi kambing gibas, ia bernama Qithmir, ada yang mengatakan bernama Tawarum dan ada yang mengatakan bernama Huban. Walloohu A'lam.

📚 *REFERENSI:*
Kitab *Fafirru Ilalloh* karya *Syeh Mundzir Nadzir*